SEJARAH PERKEMBANGAN BIDANGTEKNOLOGI PERBENIHAN
LuarNegeri
Ditinjau dari segi sejarahnya bidang Teknologi
Benih merupakan salah satu bidang yang masih muda di dalam agronomi. Di Amerika
tercatat baru berkembang sesudah Perang Dunia ke II, sedangkan di Indonesia
baru tumbuh pada tahun 1964. Dalam perkembangannya bidang Teknologi Benih di
dahului oleh bidang Analisis Benih. Stasiun Analisis Benih yang pertama
didirikan di Saxony (Jerman) lebih dari seratus tahun yang lalu yaitu sekitar
tahun 1869. Stasiun lain juga telah cukup tua terdapat di Kopenhagen dan
Zurich.
Dengan dilandasi oleh makin pesatnya perdagangan
benih antar negara dan adanya ketidakseragaman standard pengujian benih pada
masing-masing negara maka pada pertemuan antar laboratorium pengujian benih di
tahun 1921 berdirilah suatu
organisasi "The European Seed Testing Association". Kemudian
pada pertemuannya yang ke-empat tahun 1924 di Cambridge diresmikanlah "The
International Seed Testing Association" (ISTA) yang mempunyai
semboyan "Keseragaman dalam pengujian". Organisasi ini beranggotakan
negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara anggota
menunjuk pejabat resmi yang mewakilinya dalam ISTA dan pejabat ini mengajukan
laboratorium mana dinegaranya yang diajukan sebagai laboratorium anggota dalam
ISTA yang harus mendapatkan persetujuan dari ISTA. Pertemuan-pertemuan ISTA
diselenggarakan setiap tiga tahun. Di mana biasanya diadakan pula suatu
simposium yang membahas kertas-kertas kerja dalam hubungannya dengan masalah
benih. Hasil pertemuan tersebut dipublikasikan dalam "Journal of Seed
Science and Technology". Pada tahun 1928 diadakan untuk pertama
kalinya peraturan internasional dalam hal pengujian benih, yang mana baru
diterbitkan tiga tahun kemudian yakni pada tahun 1931.
Berbagai ketentuan senantiasa diberi kesempatan
untuk ditinjau kembali di dalam pertemuan-pertemuan ISTA. Tetapi hal ini
sedikit banyak akan dapat menimbulkan keruwetan. Oleh karena itu pada tahun
1974 diadakan sistematika baru dalam peraturan pengujian benih yang me-misahkan
antara peraturan dasar dan peraturan tambahan. Dalam peraturan dasar tercakup
prinsip-prinsip yang tidak mudah untuk diubah sedang dalam peraturan tambahan
di muatkan penafsiran-penafsiran atau aturan pelaksanaan yang lebih mudah untuk
diubah bilamana diperlukan.
Beberapa hal yang menyebabkan berdirinya ISTA, yitu :
1. Adanya keharusan moral untuk menyajikan benih yang sehat dan
bersih (benih baik) dan sesuai dengan catatan sertifikatnya (benih benar)
kepada petani. Hal ini mengingat bahwa benih merupakan salah satu sarana
produksi dalam usahatani.
2. Adanya ketidakseragaman baik dalam metoda maupun hasil pengujian
benih antar laboratorium.
3. Semakin meluasnya perdagangan benih antar negara.
Indonesia
Di Indonesia dengan didirikannya Departemen
Pertanian pada tahun 1905, usaha pemerintah untuk mempertinggi produksi tanaman
rakyat lebih diintensifkan antara lain dengan usaha penyebaran benih unggul
khususnya padi, mendirikan kebun-kebun benih diberbagai tempat dan menyebarkan
benih-benih hasil seleksi. Orientasinya adalah memperbaiki varitas yang ditanam
rakyat. Di Yogya (tahun 1924) diadakan kebun benih Crotalaria,"
di Tosari (tahun 1927) kebun bibit kentang, di Krawang kebun benih padi, di
Pacet kebun benih sayuran, di Pasuruan terdapat kebun benih buah-buahan dan
lain-lain. Pada taraf ini usaha yang dilakukan hanya meliputi penyebaran benih
dan produksinya. Dalam hal tanaman pangan lebih banyak bersifat penyuluhan,
sedang dalam hal tanaman sayuran dan industri sudah lebih bersifat komersial.
Bidang teknologi benih dapat lebih cepat dikembangkan apabila benih di
tempatkan sebagai sarana produksi yang bersifat komersial.
Sesudah Indonesia merdeka usaha penyebaran benih
unggul dilaksanakan oleh Jawatan Pertanian Rakyat Urusan Balai Balai Benih pada
tahun 1957, dan di tahun 1960 dilakukan oleh Gabungan Pemancar Bibit sebagai
penangkar lanjutan dari Balai Benih. Benih yang dihasilkan dari Balai Benih
diperbanyak oleh Gabungan Penangkar Benih yang terdiri dari petani-petani
penggarap. Hasil dari Gabungan ini dijual kepada Jawatan yang kemudian
menjualnya kepa-da para petani yang dibina oleh Jawatan.
Sampai pada masa tersebut kalau diikuti
perkembangan usaha pemerintah dalam membina masalah perbenihan dapat dikatakan
belum berada dalam siklus teknologi benih yang sempurna. Karena baru meliputi
segi produksi benih unggul semata dan didistribusikan langsung kepada petani,
sedangkan tahap pengolahan, penyimpanan, peng-ujian dan kualifikasi benih
berdasarkan tingkat mutu benih belum terdapat dalam siklus ini. Demikian pula
komer-sialisasi benih atas dasar mutu tidak tampak pula.
Pada tahun 1969 mulailah dirintis adanya proyek
benih oleh Direktorat Pengembangan Produksi Padi Direk-torat Jenderal
Pertanian Departemen Pertanian yang bertu-juan untuk menjamin benih yang
bermutu tinggi secara kon-tinyu. Dan pada tahun 1971 dibentuklah Badan Benih
Nasional yang mempunyai tugas pokok merencanakan dan merumuskan kebijaksanaan
dibidang perbenihan. Berbicara mengenai penggunaan benih, sebenarnya kesadaran
petani kita untuk menggunakan benih unggul sudah cukup tinggi. Tetapi hal ini
masih harus ditingkatkan lagi dengan kesadaran berbenih unggul yang bermutu
baik dan benar, di mana pembinaannya melalui program Sertifikasi Benih.
Agar sertifikasi benih benar-benar menemui
sasaran-nya maka hendaknya dapat didasarkan atas hasil-hasil penelitian yang
dapat dipertanggungjawabkan. Kepentingan untuk memenuhi perkembangan bidang
teknologi benih dari hampir berorientasi pada varitas unggul semata menjadi
berorientasi pula pada benih yang baik dan benar, mendesak untuk diciptakannya
suatu metoda, substrata, kondisi lingkungan, alat-alat dan evaluasi yang serba
terstandardisasi. Peranan teknologi benih khususr nya dalam pengujian dapat
menghasilkan suatu standard kualifikasi benih bagi berbagai tingkatan mutu
benih. Standard evaluasi untuk menentukan kualifikasi benih secara obyektif
menjadi problema utama bagi penelitian dan bi-dang Teknologi Benih di negara
kita dewasa ini.
TEORI KESEJAJARAN SADJAD
Benih sebagai Penunjuk Tataran Budaya Tani.
Pengertian tentang benih seperti diuraikan
sebelumnya menunjukkan batasan-batasan dengan teknologi yang meningkat, dari
tingkatan yang sangat sederhana sampai yang sangat canggih. Dinamika teknologi
ini diantisipasi dalam pengembangan perbenihan baik dalam identitas genetik
tanamannya, karakteristik fisiologisnya, segi-segi mutunya, dan dalam status
benih sebagai sarana produksi. Terjadilah kesejajaran pada setiap tataran
unsur-unsur itu sehingga pada taraf teknologi tertentu, pencapaian tingkatan
identitas genetik, mutu fisiologis, dan statusnya sebagai sarana produksi, juga
sampai taraf tertentu.
Batasan benih yang kita buat dinamik atau
progresif seperti diuraikan di atas, ternyata sejajar dengan tataran budaya
tani yang berkembang dari budaya manusia purba pengembara sampai manusia modern
di ruang angkasa. Teori Kesejajaran itu dapat menjadi pegangan orang benih
untuk menempatkan pemikirannya pada batasan pengertian benih dan pada tempat
yang proporsional, maupun pegangan untuk pengembangan Ilmu dan Teknologi Benih
sendiri. Setiap taraf seperti duduk pada etikanya masing-masing.
Pengembangan Budaya Tani.
Sejarah budaya tani menunjukkan bahwa kehidupan bertani diawali
oleh hasrat sekelompok manusia untuk bermukim di suatu tempat. Usaha manusia
untuk mempertahankan hidup dengan lembing dan panahnya di hutan belantara
berubah sejak budaya tani lahir dengan pemukimannya yang menghendaki budidaya
tanaman dengan pengelolaan yang lebih tekun. Sistem ladang berpindah merupakan
transisi budaya tani dari pengembaraan total ke domestikasi tani.
Budaya itu kalau kita ikuti terus nampaknya
berkembang dari sistem domestikasi tertutup, terbuka, globalisasi, dan bahkan
sekarang seperti kembali pada pengembaraan manusia tetapi di ruang angkasa yang
mungkin nantinya berakhir pula sampai ke bentuk pemukiman dengan budaya tani
pula. Bedanya barangkali kalau dulu di rimba raya, tetapi di masa depan di
ruang angkasa raya. Dengan pragmatisme batasan pengertian benih dan Teori
Kesejajaran mungkin dapat dibayangkan bahwa tataran ruang angkasa itu sebagai
tahapan sesudah tataran bioteknologi. Dalam tulisan 10-15 tahun silam penulis
ternyata belum dapat mencantumkan tataran bioteknologi sesudah tataran
teknologi.
Progresivitas yang ditunjukkan pada alur pikir
batasan benih ternyata inspiratif sejajar pula dengan perkembangan budaya tani
manusia. Manusia mana akan bisa mengenal benih, kalau mereka hanya sebatas
mengambil buah yang bisa dimakan di hutan, tanpa kepedulian sama sekali
terhadap bagaimana spesies tumbuhan itu bisa tumbuh begitu subur. Nalurinya
mungkin didapatkan dari melihat kera-kera bergantungan di pohon sambil
menikmati buah-buahnya yang sedang masak.
Mereka mungkin lalu mengenal biji yang ada dalam
buah itu yang sesudah terlempar ke tanah, bisa tumbuh menjadi tumbuhan yang
serupa dengan yang membuahkan sumber makanannya. Kalau kebetulan bijinya yang
menjadi sumber pangan, tentunya timbul saingan kepentingan antara sumber pangan
dan sumber penerus spesies tumbuhan. Mulailah ada rangsangan berpikir untuk
menyisihkan biji yang dimakan untuk cadangan menumbuhkan spesies sumber
pangannya. Bukankah pada taraf ini manusia berada di awal tahapan mengenal
benih? Dari manusia yang tidak mengenal biji kemudian mengenalnya yang bisa
tumbuh, lalu mengenal sebagai biji yang dapat ditumbuhkan, dan akhirnya sebagai
benih yang bisa ditanam. Upaya manusia ini membudaya dan pasti diikuti dengan
upaya teknologi untuk mendapatkan sarananya, sesederhana apa pun teknologi itu.
Menyisihkan biji dari buah memerlukan suatu teknologi meski hanya menggunakan keandalan jari-jarinya. Kalau dirasa
kukunya kurang tajam, maka diperlukan kayu atau bambu yang tajam. Begitulah
teknologi benih berkembang dari taraf yang sangat sederhana.
Mulainya Budaya Tani.
Kalau kenyataan itu terpantau oleh nenek moyang
mulailah mereka berpikir ke arah efisiensi dan tentunya pada langkah pertama,
akan mengurangi jarak mereka berkelana dan mendekati sumber makan yang bisa
dikumpulkan. Berkelana jauh yang mengandung lebih banyak risiko dan memerlukan
banyak tenaga mulai dikurangi intensitasnya. Bertempat tinggalnya di
potion-pohon menjadi makin lama, apalagi kalau umur mereka makin bertambah dan
tenaganya makin berkurang.
Sementara itu mereka makin banyak tahu tentang
biji tumbuhan yang bisa dimakan yang tergolong biji jenis padi-padian. Mulai
tersingkaplah budaya tani, meskipun sesudah menanam benih mereka tinggalkan
ladangnya tanpa pemeliharaan. Teknologi Benih lahir mendahului budaya tani sendiri. Budaya tani mulai lahir tetapi budidaya
tanaman belum mereka kuasai. Oleh karena itu, benih adalah awal budaya tani. Mereka
kenal tanaman dari tumbuhan melalui bijinya yang diupayakannya untuk menjadi
benih. Mereka mulai mengenal benih sama dengan biji pada taraf itu, dan budaya
mereka setatar dengan batasan pengertian struktural benih, yaitu benih dan biji
sama. Dalam budaya tani selanjutnya dengan teknologi yang sedikit lebih
dikembangkan, manusia kemudian menyisihkan benih dari biji. Mulai dibedakan
status benih dari biji. Budaya tani demikian setatar dengan batasan pengertian
benih yang membedakan benih dari biji secara fungsional. Ternyata dalam
pengembangan kerangka pikir Teknologi Benih, perbedaan fungsional benih dari
biji itu sangat mendasar. Dari dasar pikiran ini dan selalu mengacu pada Teori
Kesejajaran, penulis selanjutnya berupaya mengembangkan Ilmu dan Teknologi
Benih di Indonesia. Bahkan secara inspiratif digunakan untuk mengamati
perkembangan pertanian pada umumnya.
Pengertian benih untuk melihat maju kedepan. Secara matematik, apabila sudah didapatkan dua titik maka
bisa ditarik suatu garis lurus. Garis lurus yang menghubungkan progresifitas
batasan pengertian benih itu sejajar dengan garis lurus yang ditarik antara dua
titik tataran dinamika budaya manusia dalam pertanian. Itulah yang disebut
Teori Kesejajaran Sadjad. Dari sini pula benih-dialektika tumbuh untuk
mengembangkan Ilmu dan Teknologi Benih. Di samping tataran unsur dalam Ilmu dan Teknologi Benih yang harus bisa
disebutkan, tataran budaya tani harus bisa juga ditemukan lebih lanjut. Sesudah
manusia merasa lebih efisien dan untung dengan lebih lama bermukim yang
akhirnya menetap di suatu tempat, yang konsekuensinya harus mampu
membudidayakan tanamannya, maka manusia kemudian mengenal lahan untuk dikelola.
Karena manusia mulai bermasyarakat yang tentu memegang etika dalam saling hidup
menghidupi, maka lahan pengelolaannya harus jelas batasnya. Semula batas lahan
itu harus jelas bagi pemilikan sekelompok masyarakat, kemudian harus menjadi
jelas juga bagi masing-masing individu. Oleh karena itu, mereka mulai memberi
ciri untuk batas lahannya. Tanah di lahan itu harus dikelola sedemikian rupa
sehingga benih yang ditanamnya bisa tumbuh dengan baik. Dari berkelana asal
bisa hidup, kemudian mulailah mereka menanam dengan itikad asal berproduksi.
Sesudah mereka mampu mengembangkan teknologi dalam mengelola lahan,
orientasinya menjadi bagaimana bisa mencapai hasil yang sebanyak-banyaknya
dari lahan yang sudah jelas batas-batas pemilikan atau hak penggunaannya.
Taraf pengelolaan lahan dan orientasinya dalam
berproduksi itu merupakan ciri agronomi. Inilah titik baru yang ditemukan dari
dialektika Teori Kesejajaran itu. Titik baru dalam budaya tani ini harus
mendorong ditemukan pula titik tataran budaya benih baru dalam dialektika ruang
pikir Teknologi Benih yang sejajar dengan tataran agronomi pada budaya tani.
Lahirnya agronomi dan mutu benih.
Pada tataran itu benih tidak sekadar biji yang
dikehendaki bisa tumbuh kalau ditanam, tetapi benih itu harus tumbuh secara
normal sesuai waktu yang mereka kehendaki. Iklim mendesak mereka untuk berpikir
demikian, karena budaya tani beragronomi bukan sekadar budaya tani seperti pada
tataran sebelumnya, dan terikat pada musim untuk berproduksi
sebanyak-banyaknya. Benih yang lama tumbuhnya dalam tanah tidak dikehendaki
oleh budaya tataran itu.
Demikian juga benih yang cepat membusuk, baik
sesudah ditanam, maupun dalam periode simpan sebelum ditanam, tidak
dikehendaki. Mulailah budaya demikian mengetahui tentang mutu benih. Dari hanya
mengenal benih yang berupa biji, dialektika ilmu mengajarkan kita untuk
berpikir ke mutu benih.
Benih dengan mutu.
Titik tataran ini kalau disejajarkan dengan
garis tataran budaya tani, akan setaraf dengan budaya tani agronomi
berteknologi madya dan benih yang memiliki mutu itu merupakan sarana produksi
yang digunakan oleh manusia agronomi untuk mencapai produk semaksimal mungkin.
Budaya tani non-agronomi dengan benih yang tidak mengenal mutu (nonmutu)
meningkat menjadi budaya tani beragronomi yang berteknologi madya. Orientasinya
pun meningkat dari asal berproduksi menjadi berproduksi maksimal. Dialektika
budaya tani ternyata pula sejajar dengan dialektika dalam benih sendiri.
Mutu benih di taraf ini baru terpusat kepada
mutu benih secara fisiologis. Artinya, mutu yang lebih diukur dari kemampuan
benih berproduksi normal pada kondisi yang serba normal pula. Dalam taraf mutu
ini, benih seolah hanya dihadapkan pada kondisi lapang produksi yang serba
normal. Tingkat agronominya juga masih belum banyak menemui tantangan keadaan
lingkungan. Kemurnian dan homogenitas genetik belum begitu lanjut, dan
keragamannya itu belum mengganggu tingkat produksi. Pasar pun masih menerima
kondisi demikian karena bagi konsumen baik jumlah maupun tuntutan untuk
kualitas belum dirasa mendesak. Tingkat industri pun belum menuntut keseragaman
produk yang jauh.
Pada tataran ini meskipun budaya tani sudah
mengenal mutu benih, tetapi belum dalam konteks Teknologi Benih. Kultivar hasil
pemuliaan atau seleksi sudah dikenal konsumen benih secara meluas, yang pada
tataran sebelumnya hanya mengenal spesies. Namun, mutu benih itu kalau sudah
menjadi tuntutan baru dikenal atas dasar informasi individual atau
institusional, belum dijabarkan ke dalam informasi yang dibakukan berupa bentuk
suatu sertifikat mutu. Benih sebagai produk teknologi memang sudah terwujud
pada taraf ini, tetapi komersialisasinya belum lanjut dan kebenaran mutu belum
baku sesuai prosedur program sertifikasi benih.
Keseragaman produk.
Keseragaman produk makin lama makin menjadi
tuntutan. Agronomi yang semula tidak begitu intensif menggunakan sarana teknologi
produksi kemudian mengejar produk yang maksimal dengan mutu yang seragam. Demi
meningkatkan efisiensi, metode pengelolaannya juga menuntut keseragaman alat
maupun tindakan. Apalagi teknologi itu makin memperhitungkan waktu usaha yang
dikehendaki seefisien mungkin. Dibalik itu budaya ini juga menuntut kelestarian
baik lahan maupun manusia pengelolanya. Orientasi produksi maksimal perlu
ditambahi dengan orientasi pelestarian.
Peralatan mekanis yang motoris makin meminta
permodalan yang lebih tinggi, sehingga lebih lagi mereka dituntut akan
efisiensi dan kemampuan menghasilkan produk yang ekonomis. Satu titik lagi
dalam tataran budaya tani ditemui. Titik itu kita namakan agronomi berteknologi
maju atau modern yang menuntut tataran Teknologi Benih lebih maju setingkat
lagi. Pada tataran budaya tani ini benih lebih bersifat komersial dan harus
benar dalam segala informasi mutunya. Penilaian mutu harus objektif,
informasinya pun harus bisa dibakukan dalam suatu sertifikat yang diakui legal
berdasarkan perundangan yang berlaku. Prosedur sertifikasinya pun disesuaikan
ketentuan internasional.
Mutu genetik benih.
Mutu fisiologi benih misalnya, tidak cukup
hanya diinformasikan sebatas pertumbuhan benih pada kondisi optimum, tetapi
harus bisa mengidentifikasikan keseragaman pertanaman pada kondisi suboptimum
sekalipun. Meskipun budaya tani dengan teknologinya telah berhasil untuk
menyeragamkan keadaan lahan yang dikelolanya, tetapi mutu benih paling menoniol
sebagai penentu keseragaman pertanaman dan produk. Dari semboyan "one seed-one
plant\ menjadi"one lot-one stand'.
Identitas genetik lalu menjadi utama pada taraf
budaya tani ini, apalagi setelah era hibrida jagung lahir. Orang-orang benih
berposisi menjadi perpanjangan tangan pemulia tanaman yang telah menghasilkan
kultivar hibrida dengan sifat-sifat yang unggul dan seragam. Pada batasan
pengertian benih sampailah pada titik tataran yang disebut dengan batasan
teknologi. Kesejajaran itu didapati pula antara tataran pada Teknologi Benih
atau budaya benih dan tataran budaya tani yang telah mencapai taraf agronomi
teknologi plus. Bidang Analisis Benih menjadi lebih lagi berperan dan benih
sebagai produk teknologi benar-benar berada dalam konteks Teknologi Benih yang
mendambakan produk benih yang baik dan benar dalam segala unsur mutunya.
Benih produk teknologi.
Sudah empat titik pada masing-masing tataran
budaya benih dan budaya tani yang menggambarkan dua garis yang sejajar. Benih
yarig harus lahir dari pragmatisme teknologi dalam proses produksinya dari
penyiapan lahan sampai dalam kemasan pemasaran
menekankan sekali pada jaminan mutu genetik, sehingga apa yang sudah dihasilkan
oleh para pemulia tanaman tidak hilang begitu saja. Teknologi itu tidak saja
untuk membenahi sistem produksi benih di lapang, tetapi juga di proses
pengolahan benih yang dilaksanakan sesudah panen. Persilangan liar yang bisa
terjadi sewaktu benih itu diproduksi di lapang harus dicegah semaksimal mungkin.
Apalagi dalam proses produksi benih varietas hibrida yang proses penyilangannya
sangat terkontrol. Pemanenan harus dilakukan pada waktu dan kondisi iklim yang
setepat-tepatnya sehingga mutu fisiologis benih yang dihasilkan kan bisa
mencapai maksimum.
Semua usaha itu untuk memenuhi apa yang
diharapkan konsumen benih, ialah apa yang dihasilkan nantinya benar-seperti apa
yang diinginkan. Konsumen juga menghendaki perwujudan fisik benih yang bersih.
Oleh karena itu, lahirlah peralatan pengolahan benih yang makin bisa
melakukan proses pembersihan benih dan pemilahan benih secara sempurna.
Produk yang homogen, jelas kualitas, tepat dalam
kuantitas dan kontinuitas pemasokan, menjamin kesinambungan proses industri
yang harus selalu mengingat kapasitas terpasang mesin-mesinnya. Jaminan
demikian merupakan nilai tambah bagi industri dan nilai tambah ini harus
berdampak pula bagi tataran benih yang sudah berteknologi maju.
Upaya serba homogen demikian bukan tidak
menimbulkan masalah. Keragaman genetik tentu menjadi sempit. Hal ini meresahkan
kalangan genetisis. Musibah alami bisa terjadi dan varietas yang sangat
bersifat biohomogen yang genetik sangat seragam akan tidak mampu menahan
musibah itu.
Budaya tani rekayasa genetika.
Tahapan perkembangan budaya tani yang semula
berorientasi pada lahan yang bertanah dan sumber energi matahari, kemudian
lebih pada lahan yang non-tanah. Budaya tani yang mengandalkan teknologi
canggih ini dapat melahirkan bentuk tanaman yang lain dari pada yang kita
miliki sekarang. Tanaman yang bahkan begitu efisiennya memanfaatkan unsur di
udara tanpa menyentuh tanah sama sekali, suatu tahapan aeroponik yang lebih
maju lagi dari hidroponik. Tanaman itu akan mengikuti keinginan manusia yang
sudah tidak punya waktu untuk menikmati pandangan mata atau rasa, baik di hati
maupun di mulut, seperti lazimnya kita alami sekarang.
Tanaman yang berkembang dari biologi seluler ini
akan sangat efisien tumbuhnya dan sangat spesifik memenuhi kebutuhan manusia.
Tanaman macam itu akan sangat seragam dan sangat cepat berproduksi. Tataran
budaya tani yang berkaidah rekayasa genetik dan pembiakan mikro sejajar dengan
tataran budaya benih produk manufaktural. Benih artifisial demikian akan lahir
dari sebuah pabrik, bukan dari lahan pertanian, dan sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, tanaman mini di dalamnya tidak lagi embrional. Titik
kelima ini mungkin bagi sementara kita masih berupa imajinasi, tetapi bagi
sementara negara maju sudah bukan kemustahilan lagi. Benih artifisial itu
membutuhkan penilaian mutu yang akan lain dari pada mutu benih konvensional.
Sangkutannya dengan etika juga akan lain. Benih demikian akan banyak diukur
atas dasar energi yang dikonsumsi untuk memproduksi dan efisiensi untuk
peitanaman berproduksi selanjutnya.
Benih transit energi.
Pada titik kelima batasan pengertian benih sebagai wahana
bioteknologi, benih lebih dipandang sebagai tumpuan energi yang secara efisien sekali tersimpan sampai
suatu ketika dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Transit energi itu harus tetjadi
mulus. Untuk kepentingan tataran budaya tani yang canggih, maka energi yang ada
di benih harus secara efisien dihimpun dan penggunaannya pun sangat
diperhitungkan karena semuanya tidak harus bersumber pada energi matahari.
Tataran budaya benih perlu menyiapkan diri untuk sampai pada tahapan itu. Untuk
itu dialektika pengembangan ilmu selalu harus ditekankan, sampai-sampai pula
benih siap untuk budaya tani di ruang angkasa yang memiliki gravita mikro.
Barangkali budaya tani yang berupa tani ruang angkasa akan menjadi budaya tani
tataran ke enam yang sistem konsumsi energinya akan sangat berbeda.
Kesejajaran dengan aspek pembinaan.
Garis batasan pemikiran benih yang sementara ini
terdiri dari lima titik bisa pula disejajarkan dengan dinamika pembinaan mutu
benih. Adanya sertifikasi benih yang diawalkan pada titik batasan pengertian
benih sebagai wahana teknologi disebabkan karena identitas genetik yang baru
dapat diinformasikan secara jelas pada tataran itu. Pada tahapan tataran
agronomi yang menempatkan benih sebagai sarana produksi, pembinaan mutu benih
belum sampai pada program sertifikasi. Pada tataran ini dorongan petani untuk
membeli benih belum atas dasar informasi mutu yang tertulis pada sertifikat.
Cukup dari label pada kemasan tanpa jaminan pihak ketiga melalui program
sertifikasi. Demikian juga taraf komersialisasi benih belum maju, sehingga
benih belum dihargai sesuai dengan usaha pemuliaan yang menghasilkan keunggulan
sifat genetik. Benih sudah memiliki label yang memberikan informasi mutu,
tetapi informasi itu belum sepenuhnya memiliki nilai komersial dengan
sanksi-sanksi terhadap kepalsuannya. Pada taraf itu benih baru setingkat
sebagai sarana produksi yang menunjang program peningkatan produksi.
Kepercayaan pada mutu benih lebih ditonjolkan pada kepercayaan kepada
integritas produsen benih, baik kepercayaan pribadi maupun kelembagaan. Bahkan
benih masih lebih merupakan sarana penyuluh-an daripada sebagai komoditi.
Dengan aspek komersialisasi benih yang
dicerminkan oleh program sertifikasi terjadi pula kesejajaran dalam pembinaan.
Pembinaan mutu untuk suatu daerah pertanian tertentu atau komoditi tertentu
harus memperhatikan pada titik mana atau batasan mana benih itu dimengerti oleh
masyarakat. Pembinaan itu akan tidak efektif kalau titik itu tidak pada tataran
yang sama.
Aspek lain yang bisa dicari titik-titiknya
sehingga dapat ditarik garis yang sejajar, misalnya pada orientasi petani,
usaha teknologi dalam perbenihan, perkembagan spesies tanaman, bahkan usaha
riset dalam Ilmu Benih sendiri. Dalam hal yang disebut terakhir ini seseorang
yang berkecimpung di bidang benih akan bisa kecewa dan menjadi tidak produktif
dalam masyarakatnya, kalau kerangka pemikiran benihnya berada pada taraf yang
tidak sejajar dengan tataran budaya tani yang ada. Apalagi kalau tataran
teknologi harus berbenturan dengan etika budaya yang belum mencapai taraf
itu.
Teori Kesejajaran Sadjad nampaknya masih harus
dipantau terus baik dalam mencari kegunaan untuk pembinaan atau pun untuk
menyerasikan dengan riset di bidang Ilmu dan Teknologi Benih.
Matrix Teori Kesejajaran.
Dalam matrix, Teori Kesejajaran dapat
digambarkan sebagai tercantum pada Tabel 1. Tataran
budaya dijabarkan dari Tingkat I yang masih berkelana atau
primitif, Tingkat II yang berupa tani non agronomi dengan teknologi yang
sederhana, Tingkat III berupa agronomi dengan teknologi minim atau madya,
Tingkat IV agronomi dengan teknologi plus atau modern dan Tingkat V budaya tani
dengan kaidah bioteknologi non agronomi yang berteknologi canggih. Tataran
status budaya tani sebagaimana telah diuraikan, sejajar dengan teknologi dalam
pembudayaan benih dari tingkat teknologi minim, sederhana, madya, maju sampai
canggih. Gambaran tataran teknologi itu sedikit banyaknya menggambarkan juga
tataran industri benih apabila kualifikasinya didasarkan pada tingkat teknologi
yang digunakan. Industri benih Tingkat I sangat minim teknologi, Tingkat II
sudah memanfaatkan teknologi dalam pengeringan dan pembersihan yang mungkin
sudah bersifat non alami, Tingkat III memanfaatkan mesin-mesin pengolahan benih
termasuk untuk proses pemilahan, Tingkat IV sudah menghasilkan benih yang
bersertifikat, dan Tingkat V sudah berteknologi canggih dan memiliki upaya
penelitian dan pengembangan sendiri.
Dengan dasar Teori Kesejajaran dan apabila
tataran budaya tani dihadapkan pada tataran teknologi industri benih, maka
dapat digambarkan matrix untuk pembinaan perbenihan berbagai komoditi sebagai
tampak pada Tabel 2. Untuk komoditi sayuran, bunga-bungaan yang sudah mempunyai
budaya tani canggih misalnya, perlu dilayani oleh teknologi industri benih
Tingkat V yang berteknologi canggih pula. Tetapi, ada kalanya pelayanan
teknologi dalam perbenihan itu tidak memadai dan masih pada industri Tingkat II
misalnya dalam hal komoditi Eucalypt yang diproduksi untuk menunjang industri
pulp yang berbudaya tani sangat maju. Beberapa komoditi lain seperti padi
sawah, yang berbudaya tani modern, tepat kalau dilayani oleh industri benih
berteknologi taraf IV. Demikian juga untuk komoditi jagung hibrida. Apabila
pada tataran budaya tani demikian, teknologi industri benih berada pada tataran
Tingkat V maka harus ada usaha lebih memodernkan budaya taninya, misalnya
dengan cara mengkonsolidasikan pengelolaannya. Sebaliknya apabila budaya tani
padi ladang, dilayani oleh industri benih tataran IV atau V, industri benih
menjadi terlampau berbiaya tinggi, karena budaya tani ladang masih pada tataran
tingkat II yang sederhana. Dalam hal ini, kalau dipaksakan akan meminta subsidi
pemerintah yang sangat besar. Misalnya subsidi dalam usaha pemuliaan, subsidi
harga atau bentuk subsidi lainnya.
Dengan teori ini maka orang-orang benih perlu
menempatkan pemikiran yang tepat, apakah kebijakannya serasi dengan tataran
budaya tani yang ada pada masyarakat apabila hendak menerapkan pembinaan
teknologinya dalam memproduksi benih, demikian pula dalam menerapkan legalisasi
perundangan kalau itu dalam rangka pembinaan.
Dalam hal pengembangan perbenihan suatu spesies,
perlu diingat pula apakah spesies itu sudah berada pada taraf kultivar atau
masih belum jelas identitas genetiknya. Apabila belum dilakukan usaha pemuliaan
atau seleksi sehingga spesies itu belum melahirkan kultivar atau tipe tanaman
dengan sifat-sifat genetik yang jelas dan mantap, maka akan sukar untuk
diterapkan program sertifikasi benih yang dalam matrix itu berada pada taraf
industri benih tingkat IV. Kalau spesies semacam itu dibiakkan dengan teknologi
canggih dan dihasilkan benih-benih artifisial misalnya, maka diperlukan
prosedur sertifikasi yang tidak lazim berlaku bagi benih konvensional. Dalam
hal ini dialektika orang benih perlu mengantisipasinya sehingga tidak terjadi
kesenjangan antara budaya benih dan budaya tani.
http://riskyridhaagriculture.blogspot.com/2011/12/sejarah-perkembangan-bidang-teknologi.html
0 comments:
Post a Comment