Setiap
makhluk hidup menjadi penyusun dan pelaku terbentuknnya suatu komunitas yang
mempu mengatur dirinya sendiri secara alami sehingga terjadi keseimbangan
numberik antara semua unsur penyusun komonitas. meningkatnya kesadaran manusia
terhadap kelestarian lingkungan hidup,semakin banyak pula aspek lingkungan yang
ia pertimbangkan sebelum melakukan berbagai pengambilan keputusan,termasuk
sebelum melakukan tindakan pengendalian hama dalam taninya. Berbagai cara
pengendalian hama tanaman telah dikenalkan manusia,namun tidak semua cara
tersebut ramah terhadap lingkungan.Salah satu cara pengendalian hama yang
dianggap ramah terhadap lingkungan adalah pengendalian hayati.Yang menarik
adalah bahwa pengendalian hayati sudah dikenal manusia sejak ribuan tahun yang
lalu dan sudah diimplementasikan dalam perlindungan tanaman sejak abad ke
17.Namun,di sekitar pertengahan abad ke 20 popularitas pengendalian hayati
seakan memudar karena gencarannya promosi pengendalian secara kimiawi yang
ternyata menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan hidup.Baru pada akhir
abad ke 20,pada saat manusia semakin sadar lingkungan,muncul kebutuhan untuk
kembali kepada penngendalian hayati.
Pengendalian
hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi yaitu dengan
memanfaatkan musuh-musuh alami seperti predator parasitoid dan patogen. pengendalian
hayati merupakan salah satu metode pengendalian hama yang semakin diminati
akhir-akhir ini karena memiliki keunggulan,dia antaranya adalah sifatnya
yang’ramah’lingkungan.Dalam konteks ini musuh alami adalah agens pengendalian
(control agents)yang dapat berkecukupan diri (self-sustenance) sehingga hemat
karena mereka dapat bberkembang biakdi alam.Selain itu,populasi musuh
alamidiharapkandapat bereaksi secara terpaut kepadatan(desity dependence)
dengan populasi hama,artinya daya kendali oleh musuh alami itu semakin tinggi
pada populasi hama yang semakin padat.Dengan demikian pengendalian hayati di
harapkan dapat mencegah peledakan populasi hama.sifat-sifat baik pengendalian
hayati itu sering di tandingkan dengan sifat buruk yang dimiliki oleh metode
pengendalian kimiawi(meracuni lingkungan,boros,menimbulkan resistensi dan
resurjensi hama,dan sebagainya)
Tujuan
1) Untuk
mengetahui sejarah pengendalian hayati di indonesia.
2) Untuk
mengetahui perkembangan pengendalian hayati di indonesia.
3) Untuk
mengetahui konsep dari pengedalian hayati di indonesia.
Istilah
pengendalian hayati mencakup 3 pengertian,yaitu (1) sebagai disiplin ilmu, (2)
sebagai metode pengendalian hama, (3) sebagai fenomena alami Menurut van den
bosch et al (1982).Sebagai bidang ilmu,pengendalian hayati dapat dipandang
sebagai bentuk terapan dari ilmu biologi,khususnya entomologi.Ilmu penendalian
hayati menitikberatkan kajian terhadap interaksi antara organisme dan musuh
alaminya.Organisme target itu dapat kedudukan sebagai mangsa(prey) atau
inang(host),sedangkan musuh alaminya berfungsi sebagai predator atau
parasit.Parasit yang tergolong kedalam kelas hexapoda(serangga) dikenal sebagai
parasitoid,sedangkan yang tergolong kedalam mikroorganisme disebut
patogen.Dalam tradisi pembelajarannya,ilmu pengendalian hayati lebih banyak
membahas interaksi mangsa-predator dan inang-parasitoid, sedangkan interaksi
antara patogen dan inang terutama serangga inang secara khusus dibahas dalam
Patologi serangga.
Sebagai
metode,pengendalian hayati merupakan salah satu metode pengendalian hama yang
semakin diminati akhir-akhir ini karena memiliki keunggulan,dia antaranya
adalah sifatnya yang’ramah’lingkungan.Dalam konteks ini musuh alami adalah
agens pengendalian (control agents)yang dapat berkecukupan diri
(self-sustenance) sehingga hemat karena mereka dapat berkembang biak di
alam.Selain itu, populasi musuh alami diharap kan dapat bereaksi secara terpaut
kepadatan dengan populasi hama,artinya daya kendali oleh musuh alami itu
semakin tinggi pada populasi hama yang semakin padat.Dengan demikian
pengendalian hayati di harapkan dapat mencegah peledakan populasi
hama.sifat-sifat baik pengendalian hayati itu sering di tandingkan dengan sifat
buruk yang dimiliki oleh metode pengendalian kimiawi(meracuni
lingkungan,boros,menimbulkan resistensi dan resurjensi hama,dan sebagainya).
Pengendalian
hayati dianggap berhasil apabila upaya itu mampu menurunkan posisi keseimbangan
populasi hama. Bila penurunan keseimbangan terjadi sedemikian rupa sampai pada
arah yang tidak merugikan secara ekonomi maka hal itu merupakan yang sempurna.
Sebelum dilakukan pengendalian hayati.posisi keseimbangan populasi hama berada
di atas tingkat kerusakan ekonomi. Setelah dilakukan pengendalian hayati.populasi
hama tersebut turun dan tertekan sehingga mencapai keseimbangan baru pada
posisi di bawah tingkat kerusakan ekonomi.Dalam perjalanan sejarahnya,upaya
pengendalian hayati ada yang berhasil,ada yang berhasil semupurna,namun ada
pula yang gagal.Pengendalian hayati dapat pula dipandang sebagai bagian dari
fenomena alami yang disebut pengendalian alami.
PEMBAHASAN
Dalam perjalanan
sejarahnya, upaya pengendalian hayati di indonesia dapat dikelompokkan ke dalam
dua era yaitu era prakemerdekaan dan era kemerdekaan (Sosromarsono, 2005). Berikut
ini didepkrisikan beberapa sistem pengendalian hayati pada masing-masing era
dan diantara kedua era tersebut menurut Sosromarsono (2005) dan Kalshoven
(1981).
1. pada
tahun 1910 kasus pertama pengendalian hayati terhadap ulat tembakau Helicoverpa
(Heliothis) assulta dan Spodoptera spp. (Lepidoptera: Noctuidae) di kawasan
Deli, sumatra utara. Ulat- ulat tembakau ini adalah hama asli Deli. Agens
hayati yang digunakan adalah sejenis tabuhan (wasps) parasitoid telur,
Trichogramma minutum (Hymenoptera: Trichogrammatidae), yang diintroduksi dari
amerika serikat. Di tempat asalnya Trichogramma ini memarasit ulat tongkol
jagung, helicoverpa zea (Lepidoptera: Noctuidae), yang masih sekerabat dengan
ulat tembakau (satu famili). Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scolytidae)
2. Pada
tahun 1915 berbagi jenis musuh alami, termasuk kumbang kubah predator Chilocorus
pollitus (Coleoptera: Coccinellidae), parasitoid Aphytis up. Dan Comperiella
unifasciata (Hymenoptera: Encytirdae) didatangkan dari jawa dan Bali untuk
mengendalikan kutuperisai Aspidiotus destructor (Homoptera: Diaspididae) pada
perkebunan warga pada sulawesi utara. Tidak ada informasi yang jelas mengenai
sukses tidaknya upaya pengendalian hayati ini.
3. Pada
tahun 1918 dilakukan pula pengendalian hayati terhadap kutu dompolan bergaris
lamtoro, Ferrisia virgata (Homoptera: Pseudococcidae) menggunakan kumbang kubah
predator, Cryptolaemus montrouzieri (Coleoptera: Coccinellidae) yang
didatangkan. Lamtoro merupakan tumbuhan peneduh (pelindung) untuk tanaman kopi
dan kakao. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1918, tetapi tempat asal predator
dan lokasi pengendalian tidak jelas. Predator itu tidak mampu bertahan lama,
faktor penyebabnya tidak jelas.
4. Pada
tahun 1923 dua jenis parasitoid, prorops nasuta (Hymenoptera: Bethylidae), dan
heterospilus coffeicola (Hymenoptera: Braconidae), didatangkan dari uganda ke
jawa.untuk pengendalian penggerakan buah kopi. Walaupun pelepasan parasitoid
ini telah dilakukan berkali-kali namun parasitoid tetap tidak mampu bertahan di
lapangan.
5. Pada
tahun 1934 dan 1936 parasitoid larva, Scolia oryctophaga (Hymenoptera:
Scollidae) didatangkan dari mauritius untuk mengendalikan kumbang nyiur Oryctes
rhinoceros (Coleoptera: Scolytidae) yang asli indonesia.
6. Pada
thun 1920-an perkebunan kelapa di sulawesi selatan dan pulau-pulau di sebelah
utara dan timur jawa rusak berat oleh kumbang brontispa (Brontispa
longissima,Coleoptera:Hispidae) sehingga produksi kelapa berkurang dan
aktivitas ekspor terkendala. Sementara di pulau jawa populasi kumbang tersebut
rendah karena terkendali secara alami oleh beberapa jenis parasitoid, yaitu
parasitoid telur Ooencyrtus podontiae(hymenoptera:Encyrtidae), dan parasitoid larvapupa Tetrastichus
brontispae(hymenoptrea:Eulophidae) parasitoid telur
haeckeliana brontispae (Hymenoptera:Trichogrammatidae).Di antara
parasitoid-parasitoid itu yang paling efektif adalah Tetrastichus, sehingga
para entologimiwan Belanda dan indonesi mendirikan fasilitas pembiakan masal
Tetrastichus di bogor.
7. Pada
bulan Mei – Agustus tahun 1932 sebanyak 2.500 ekor pupa brontispa terparasit
yang dihasilkan dari fasilitas itu dikirimkan
ke daerah-daerah serangan hama di sulawesi .Tabung-tabung bambu
berlubang (untuk pintu keluar parasitoid) berisi pupa terparasit itu
digantungkan pada pohon-pohon kelapa terserang.Pada bulan maret tahun 1933 pada
berbagai tempat Tetratchus sudah mampu memarasit50% pupa lokal terapi belum
tersebar secara meluas.Oleh karena itu pada tahun itu dilaukan introduksi
parasitoid tahap kedua dengan mendatangkan 3000 ekor pupa terparasit. Upaya
pengendalian ini cukup berhasil.Pada akhir tahun 1934 seorang teknisi yang
sudah dilatih di bogor dalam sigi (survey)dan pembiakan masal Tetrastichus di
tempatkan di sulawesi selatan,ia membiak masalkan parasitoid itu di suatu
laboratorium lapangan dan “obat kelapa” yang dihasilkan disebarkan ke
kebun-kebun kelapa yang terinfestasi berat.Pada tahun 1935
di sulawesi selatan sudah ada lima laboratorium lapangan seperti itu,yaitu di kawasan
makassar, jeneponto, sinjai, selayar, Dan Muna(kawasan ini sekarang termasuk
provinsi Sulawesi Tenggara), yang mampu menyediakan “obat kelapa” yang cukup
sehingga tidak perlu lagi mendatangkan dari jawa.Pada tahun 1936 setiap
laboratorium lapangan tersebut mampu memberi tambahan dan menyebarkan 30.000
ekor pupa terparasit pada lokasi masing-masing.Hasilnya,parasitasi mancapai 60-90%,
parasitoid berhasil dan produksi kelapa di pusat-pusat serangan hama di
sulawesi selatan dapat diselamatkan. Aktifitas ekspor kopra di sulawesi selatan
dapat dilanjut kembali.
8. Pada
tahun 1911 Progam yang juga berhasil adalah pengendalian hayati terhadap hama
artona di jawa tengah. Musuh alami dari
hama artona ini antara lain parasitoid apanteles artonae
(hymenoptera:braconiadae), euplectomorpha viridisceps (hyeulophidae),
bessa(=ptychomyia) remota (diptera:tachinidae), argyrophylax fumipennis
(=cadurcia leefmansi) pengendalian hama artona ini dikenalkan luas pada akhir
tahun 1950-an.
9. Pada
awal 1970-an Eceng gondok tumbuh dan menutupi permukaan air dengan sangat
cepat. Gulma ini menginvasi rawa-rawa, danau, sungai, dan terusan di berbagai
kawasan tropis lainnya dan dapat dianggap sebagai gulam air terpenting di
dunia. Kumbang moncong eksotik, Neochetina spp. (Coleoptera: Curculionidae)
telah dimanfaatkan untuk mengendalikan eceng gondok (Eichhornia crassipes
(Magnoliophyta: Pontederiaceae)) di indonesia. Pada akhir 1970-an,
N.eichhorniae yang di datangkan dari amerika selatan dilepaskan di rawa pening,
jawa tengah. Kumbang moncong ini memakan jaringan eceng gondok dan mematikannya
sehingga luas tutupan permukaan air oleh gulma ini menjadi berkurang.
10. Pada
tahun 1970-an Dua hama penggerek buah menjadi kendala utama produksi kapas
tersebut, yaitu Helicoverpo armigera (Lepidoptera: Noctuidae) dan Pectinophora
gossypeilla (Lepidoptera: Gelechiidae). Pada akhir tahun 1980-an dari
pertanaman kapas dan jagung di jawa timur dan nusa tenggara barat nurindah dan
bindara ( cit. Sosromarsono, 2005) menemukan tiga jenis parasitoid telur, yaitu
Trichogrammatidea armigera (Hymenoptera: Trichogrammatidae) dari telur
Helicoverpa yang diletakan pada tanaman kapas.Pada akhir tahun 2001, dari
eksplorsi yang dilkukan dikawasan asembagus dan lamongan (jawa timur), brebes
(jawa tengah), dan bone (sulawesi selatan), nurindah et al. (2004) menemukan
dua kelompok parasitoid Pectinophora, yaitu parasitoid telur (Trichogrammatidea
spp.) dan parasitoid larva. Kedua golongan parasitoid ini berpotensi digunakan
sebagai agens hayati terhadap ulat penggerek kapas tersebut; dengan parasitasi telur mencapai 90% sedangkan
parasitasi larva mencapai 24%.
11. Pada
tahun 1990-an terdapat penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei (Coleoptera:
Scolytidae) di lampung dan hama ini meraja real di lampung dan hama ini
dikendalikan dengan penggunaan Cepahalonomia stephanoderis (Hymenoptera:
Bethylidae) yang didatangkan dari afrika barat. Pada tahun 1992 pihak
Laboratorium utama pengendalian hayati, dinas perkebunan provinsi lampung,
telah melakukan enam kali pelepasan parasitoid (50 – 100 ekor pupa atau
imago parasitoid atau 525 pupa dan 475
ekor imago parasitoid) di pertanaman kopi di sumberjaya (lampung barat) dan
pagelaran (tanggamus) (kustaryo, 1993). Kemudian pemantauan yang dilkukan oleh
sujiati (1993) pada bulan april – juni 1993 menunjukkan bahwa parasitoid
tersebut berhasil mapan di kedua kawasan tersebut dengan tingkat parasitasi
rata-rata 17,6% (di pagelaran) – 27,2% (di sumberjaya) dan mampu memberikan
dampak penekanan terhadap populasi pengerek buah kopi sebesar rata-rata 27%.
12. Pada
awal abad 21 indonesia kedatangan dua jenis hama baru yaitu pengorok daun
Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) pada berbagai jenis tanaman sayuran dan
tungau merah jeruk Panonychus citri (Acari: Tetranychidae). Program
pengendalian hayati untuk hama-hama tersebut belum dicanangkan, tetapi
keanegaraman musuh alami lokal yang berpotensi sebagai agens hayati sudah mulai
diinventarisasi. Susilowati (cit. Sosromarsono, 2005) menemukan belasan spesies
parasitoid dari famili eulophidae, eucoliidae, braconidae, atau pteromalidae
(Hymenoptera) yang bersosiasi dengan lalat Liriomyza. Sementara itu puspitorni
(cit. Sosromarsono, 2005) melaporkan bahwa tunggu merah jeruk berasosiasi
dengan tungau predator Amblyseius longispinus (Acari:Phytoseiidae), tungau
predator dari famili stigmaeidae, tirip predator scolothirips sp.
(Thysanoptera: Thiripidae), dan jamur entomopatogen hirsutella sp.
(Deuteromycetes: Moniliales). Yang paling berpotensi sebagai agens hayati
adalah amblyseius.
PENUTUP
Kesimpulan
Semakin
banyaknya lingkungan yang tercermar akibat bahan kimia sehingga pertimbangkan
sebelum melakukan berbagai pengambilan keputusan,termasuk sebelum melakukan
tindakan pengendalian hama dalam taninya.Berbagai cara pengendalian hama
tanaman telah dikenalkan manusia,namun tidak semua cara tersebut ramah terhadap
lingkungan.Salah satu cara pengendalian hama yang dianggap ramah terhadap
lingkungan adalah pengendalian hayati. Pengendalian hayati sudah dikenal
manusia sejak ribuan tahun yang lalu dan sudah diimplementasikan dalam
perlindungan tanaman sejak abad ke 17. Pertengahan abad ke 20 popularitas
pengendalian hayati seakan memudar karena gencarannya promosi pengendalian
secara kimiawi yang ternyata menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan
hidup.Baru pada akhir abad ke 20,pada saat manusia semakin sadar
lingkungan,muncul kebutuhan untuk kembali kepada penngendalian hayati.
Saran
Yang
dapat disarankan yaitu betapa pentingnnya menjaga lingkungan untuk menjaga
kelangsungan hidup agen-agen hayati di lingkungan agar agen hayati sendiri
dapat mengendalikan hama yang ganas menyerang hama-hama petani.
DAFTARA
PUSTAKA
Purnomo.H.2011.pengendalian
hayati.http//books/pengendalianhayati.html.diakses 28oktober 2015
Marwoto.O.2010. penendalian
hayati dan agents. http//agrikecancanaperkasa .com /pengendalianhayatidanagents.html
diakses 28 oktober 2015
Kalshoven, L.G.E
1981.pests of crops in indonesia (rev dan transi P.A. van der laan) P.T ichtiar
baru van hoeve jakarta
Sherpard,B,M
,bariaon A,T dan litsinger J.a 1995 mitra petani srangga laba-laba dan patogen
yang membantu(untung K. Dan wirjosuharji s.terj) IRRI-Program nasional
pengendalian hama terpadu jakarta.
Noname.2010.juniera31.http//journal.uneir,ac,id/pdfjuniera31.htmldiakses
20oktober2015
0 comments:
Post a Comment