BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap makluh hidup menjadi penyusun
dan pelaku terbentuknya suatu komonitas yang mampu mengatur dirinya sendiri
secara alami sehingga terjadi keseimbangan numerik antara semua unsur penyusun
komonitas. Setiap aktifitas organisme dalam komonitasnya selalu berinteraksi
dengan aktifitas organisme lain dalam suatu keterikatan dan ketergantungan yang
rumit yang menghasilkan komonitas yang stabil. Interaksi antar organisme
tersebut dapat bersifat antagonistik, kompetitif, atau bersifat positif seperti
simbiotik.( Untung, 2006 ).
Ekosistem adalah kesatuan komonitas
bersama - sama dengan sistem abiotik yang mendukungnya. Sebagai contoh adalah
ekosistem pertanian sawah dibentuk oleh komonitas makluh hidup bersama – sama dengan
tanah, air, udara dan unsur- unsur fisik lain yang terdapat di sawah tersebut.
Konsep ekosistem, seperti konsep biofer menekankan hubungan dan saling ketergantungan
yang tetap antara faktor- faktor hidup dan tak hidup di setiap lingkungan. Akhir-
akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis
ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan
produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri,
Bahaya pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan
pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan
pestisida,karena semakin banyak nya penggunaan pestisida sehingga menyebabkan
predator atau parasitoid OPT menjadi mati sehinnga perlu dilakukan suatu
tindakan yang mampu mengedalikan hama namun tidak merusak lingkungan dan tidak
mematikan dari predator atau parasitoid.sehingga muncul lah pemikiran baru
yaitu pengendalian hayati.
Pengendalian
hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan
memanfaatkan musuh - musuh alaminya (agen pengendali biologi), seperti
predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati adalah suatu teknik
pengelolaan hama dengan sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan musuh alami
untuk kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan dilakukan
perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium. Sedangkan Pengendalian
alami merupakan Proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia,
tidak ada proses perbanyakan musuh alami. Anonim (
2002) Pengendalian hayati dalam pengertian ekologi didifinisikan sebagai
pengaturan populasi organisme dengan musuh - musuh alam hingga kepadatan
populasi organisme tersebut berada dibawah rata - ratanya dibandingkan bila tanpa
pengendalian.
1.2. Tujuan
1.Untuk
mengetahui sejarah pengendalian hayati diindonesia.
2.Untuk
mengetahui perkembangan pengendalian hayati diindonesia.
3.Untuk
mengetahui konsep dari pengendalian hayati diindonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Dasar Pendekatan Didalam Pengendalian Hayati
1) Konservasi
dan peningkatan musuh alami. Pendekatan ini bertujuan untuk konservasi dan
meningkatkan dampak musuh alami yang telah ada pada areal pertanaman. Salah
satu cara adalah dengan meminimalisasi dampak negatif penggunaan pestisida.cara
lain yang dapat digunakan adalah dengan cara rotasi tanaman atau pola tanaman
yang dibenahi.
2) Introduksi
musuh alami.jika tidak spesies musuh alami yang mampu secara efektif mengontrol
populasi hama maka introduksi atau importasi musuh alami musuh alami ke daerah
yang terserang hama perlu dilakukan.
3) Augmentasi
populasi musuh alami yang ada di areal pertanaman tidak mampu mengendalikan
hama meskipun konservasi telah dilakukan cara pendekatanya adalah dengan
melakukan pembiakan massal musuh alami itu dilaboratorium dan kemudian
melepaskan kelapangan dengan tujuan untuk mengakselerasikan populasi dan
menjaga populasi serangga hama.
a. Inokulasi : adalah
penambahan musuh alami dalam jumlah sedikit karena populasi hama dilapang masih
rendah. Diharapkan nantinya musuh alami tersebut dapat berkembang untuk menekan
OPT.
b. Inundasi adalah
penambahan musuh alami dalam jumlah banyak, dengan tujuan dapat menurunka OPT.
Didalam pelaksanaanya perlu dilakukan beberapa kali pelepasan musuh alami.
c. Eksplorasi adalah
mengumpulkan calon agens hayati yg dapat diambil dari rhizosphere, phyllospere
dan bagian tanaman yg tidak menunjukkan gejala penyakit (sample tanah atau
bahan tanaman).
d. Isolasi adalah
pemisahan mikroorganisme yang diinginkan dari habitatnya.
e. Formulasi adalah dalam
aplikasinya agens hayati harus dicampur dengan bahan lain tetapi tidak
mengganggu cara kerja dan efektifitasnya (cairan, tepung, dll)
2.2 Komponen-Komponen Pengendalian
Hayati :
- Patogen: suatu mikroorganisme yang hidup dan makan (memarasit) pada atau di dalam suatu organisme inang yang lebih besar dan menyebabkan inangnya sakit atau mati.
- Predator: suatu binatang yang makan binatang lain sebagai mangsa, baik tubuhnya lebih kecil maupun lebih besar daripada dirinya.(organisme yang hidup bebas yang memangsa organisme lain)
- Parasitoid: Serangga yang hidup sebagai parasit di dalam atau pada tubuh serangga lain ( serangga inang ), dan membunuhnya secara pelan-pelan. Parasitoid berguna karena membunuh serangga hama.
2.3
Kelebihan Dan Kekurangan Pengendaian Hayati
A. Kelebihan
pengendalian hayati
1. Selektif
dan aman
2. Hama
tidak menjadi resisten
3. Relatif
permanen dalam jangka waktu panjang relatif murah dan efesien
4. Tidak
akan menyebabkan pencemaran lingkungan
B. Kekurangan
pengendalian hayati
1. Petani
sudah bias dengan cara pengendalian penyakit yang memberi hasil yang cepat
sehingga tidak tertarik dengan cara pengendalian hayati yang berproses lambat
dalam kurun waktu yang panjang.
2. Untuk
mengetahui secara pasti perana agensia hayati tidak mudah karena terlalu banyak
hal yang dianggap mendsar untuk di teliti.
3. Sukar untuk pengembangan dan
penggunaannya atau dalam pelaksanaannya pengendalian hayati memerlukan
pengawasan untuk mengetahui tingkat keberhasilannya.
Sehingga
sangat terasa pentingnnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu
melalu konsep pengendalian hayati yang menuntungkandan berkelanjutan dalam
pemanfaatannya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Pengendalian Hayati
Sejarah
pengendalian hayati sebenarnya telah dimulai jauh sebelum pengendalian hayati didefinisikan
pengertiannya. Masyarakat Mesir pada 2.000 SM telah memelihara kucing untuk
mengendalikan tikus yang menyerang hasil panen mereka.Usaha pengendalian hayati
pertama yang tercatat adalah pada tahun 900 dimana petani jenruk china
menempatkan semut angkrang untuk melindungi pohon jeruk mereka dari serangan serangga.
Mereka juga memasang bambu diantara pohon jeruk sehingga semut tersebut dapat
berpindah pindah dari satu tanaman ke tanaman lainnya.karean semut dapat hidup
berkolini sehingga semut dapat mengendalikan serangga sebagai hama tanamn jeruk
di china.
Sedangkan di
Indonesia dilakukan sejak Pemerintahan Belanda pada dekade kedua sampai kelima
abad XX. Dua orang indonesia yang sering disebut dalam upaya pengendalian
hayati adalah Awibowo dan Tjoa Tjien Mo, karena keduanya mempunyai perhatian
yang sangat besar dalam pemanfaatan musuh alami atau agens pengendalian hayati
(Kalshoven, 1950).
Pengendalian
hayati mengalami hambatan akibat penemuan pestisida kimia, yang dimulai dari
penemuan DDT sebagai hasil samping pengolahan minyak bumi. Bahkan pengendalian
hayati hampir dilupakan ketika produksi pestisida kimia sudah mencapai ribuan
merk dagang di seluruh dunia, sampai terjadinya sindroma pestisida dan
malapetaka akibat penggunaan pestisida kimia yang tidak bijaksana di berbagai
negeri.
Di Indonesia
Pengendalian Hayati juga diperhatikan kembali setelah PHT memasuki bidang
pendidikan. Peningkatan penggunaan parasitoid telur ulat Chelonus sp.
Untuk mengendalikan penggerek seludang kelapa sejak tahun 1968 di NTT (Untung
dan Rosyid, 1969; Mangoendihardjo, 1970) merupakan awal penerapan kembali upaya
peneraapan pengendalian hayati. Kegiatan itu mendorong didirikannya
Laboratorium Pengendalaian Hayati di Fakultas Pertanian UGM pada tahun 1972.
Kemudian di BIOTROP Bogor sejak tahun 1975; Pengendalian hayati juga dijadikan
salah satu materi dalam kursus dan latihan tentang gulma untuk kawasan Asia
Tenggara. Kegiatan itu bahkan ditindaklanjuti dengan introduksi kumbang moncong
Neochetina eichhorniai Warner untuk mengendalikan enceng gondok
(Mangoendihardjo dan Kasno, 1976).
Inpres 3 Th. 1986 membuktikan
kebenaran konsep PH, juga meyakinkan berbagai pihak bahwa konservasi musuh
alami, sebagai salah satu teknik Pengendalian Hayati dalam pengendalian wereng
coklat sangat penting. Intruksi presiden tersebut bahkan berdampak positip
terhadap aspek sosial ekonomi, antara lain berkurangnya jumlah pestisida kimia
yang digunakan secara drastis dari 17.000 ton Tahun 1986 menjadi 3.000 ton Tahun
1989. Pengurangan jumlah pestisida kimia yang digunakan disusul dengan
penghapusan subsidi pestisida, telah menghemat anggaran belanja negara 200
milyar per tahun ( Oka, 1990 ).
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama
dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh - musuh alaminya (agen
pengendali biologi), seperti predator, parasit dan patogen. Dengan diterapkannya pengendalian
hayati diharapkan diperoleh produk pertanian yang aman dab sehat bagi konsumen
dalam kaitannya dengan pestisida, terutama bagi produk yang berorientasi ekspor,
disamping aman bag manusia atau konsumen aman
juga bagi lingkungan karena lingkungan tidak tercermar akan bahan kimia.
4.2 Saran
Saran yang dapat
saya sampaikan adalah kita harus mengembangkan dan sangat mendalami tentang
pengendalian hayati agar makanan yang kita konsumsi sehat dan lingkungan
menjadi aman dan meyakinkan petani akan
kesadaran bahaya petisida yang digunakan untuk membasmi hama .
DAFTAR PUSTAKA
1)
Uneir
/di akses 10 oktober 2015 (http://journal.uniera.ac.id/pdf_repository/juniera31-uHIhqLaBkzzrDBMOhRadqxY8H.pdf)
2)
Ir. Otto Marwoto MP /pengendalian
hayati/diakses 10 oktober 2015 (http://agrikencanaperkasa.com/pengendalian-hayati/)
3)
Ir hari purnomo/pengendalian hayati/diakses
11 oktober 2015 (https://books.google.co.id)
0 comments:
Post a Comment